Saturday 29 March 2014




Bagaimana Sikap Kita Terhadap Ilmu..?

 

Rosulullah bersabda, “Jika kalian bertemu taman-taman surga, maka mampirlah.” Lalu sahabat bertanya, “apakah taman-taman surga itu ya Rosulullah?”
“Taman-taman surga ialah majelis dzikir dan majelis ilmu.”

Sudah sepantasnya setiap Muslim di dunia ini mulai memperkuat basis keilmuannya. Setelah kita semua terlarut dalam kenikmatan-kenikmatan dunia yang memanjakan dan melenakan, kita dibuat lupa akan urgensi ilmu dan mengaktualisasikannya demi kemaslahatan ummat. Kita tak lagi fokus akan tugas-tugas dalam membangun peradaban Islam dan hanya sibuk dalam urusan-urusan kecil yang menyebabkan perpecahan ummat.

Mengingat kembali sejarah, dimana Islam berjaya hampir disepertiga dunia. Dizaman itu, para ilmuwan memiliki peran peting dalam membentuk sebuah peradaban baru. Mereka dengan keahlian dibidang masing-masing, memberikan suatu harapan akan masa depan Islam. Kita dapat melihat keharmonisan antara ilmu dan iman yang menjadi pilar-pilar peradaban.

Saat ini kita semua sedang berjuang untuk meraih kembali kejayaan Islam. Salah satu usaha yang kita lakukan ialah melahirkan sebuah generasi intelektual, yang memiliki iman dan tertancap dalam hati mereka. Dan untuk menuju kearah sana, terdapat nilai-nilai asasi yang perlu dibangun dalam berilmu. Ada sebuah syair tentang Manusibabihii Asy Syafi’i(Apa-apa yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i), yang salah satu liriknya berbunyi: “kalian tidak akan mendapatkan ilmu, kecuali dengan enam perkara.” Kami akan mencoba membahas keenam perkara ini dalam konteks keilmuan dan keimanan. Bagaimana seorang muslim bisa menempatkan keduanya secara proporsional dan optimal, sehingga dapat menghadirkan manfaat bagi dirinya dan ummat.

1.    Kecerdasan (Dzaka’un)
Tinjauan kecerdasan disini sangat luas. Aspek ini menunjukkan betapa setiap manusia memiliki karunia dari Allah berupa kecerdasan yang memungkinkan mereka untuk berilmu. Perlu dipahami bahwa kecerdasan tidak hanya tentang IQ, karena itu hanya salah satu unsur saja. Sesungguhnya setiap unsur dalam berilmu menunjukkan bahwa kecerdasan sangat erat kaitannya dengan zaka’ atau kesucian.

Apa sebenarnya keterkaitan antara kecerdasan (dzaka’) dengan kesucian (zaka’), dapat kita lihat dari apa yang disampaikan oleh Imam Asy Syafi’i. Beliau pernah bersyair, “aku mengadu kepada Waqi’ akan buruknya hafalanku. Maka ia manesihatkan kepadaku untuk meninggalkan kemaksiatan. Karena sesungguhnya ilmu Allah itu cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”

Ada sebuah hubungan erat, bahwa kecerdasan harus diiringi dengan kesucian hati untuk menangkap ilmu. Bukan ilmu secara dzohirnya saja, tapi sampai ke batinnya. Maka seorang penuntut ilmu dituntut untuk dapat menjaga kesuciannya. Bahkan KH. Hasyim Asyari pernah menasihatkan bagi penuntut ilmu, hendaknya mereka tidak saja menghindari yang haram, tetapi juga harus menjauh dari yang syubhat, bahkan yang mubah tetapi berlebihan. Inilah salah satu azas dari apa yang disebut sebagai kecerdasan. Maka dari itu bagi orang-orang yang berusaha dalam menjaga kesucian ini, Allah membuat mereka peka, Allah membuat mereka sensitiv terhadap titik-titik maksiat, sehingga maksiat sekecil apapun dapat berpengaruh pada ilmu yang mereka serap.

Imam Asy Syafi’i misalnya. “Aku kehilangan hafalanku”, kata beliau, “karena melihat seorang wanita yang tersingkap sedikit bagian kakinya.” Sensitivitas semacam ini yang membuat kita harus menjaga ilmu dengan baik karena ilmu ialah karunia Allah. Adapun orang yang bodoh dan sombong, Allah akan menunjukkan kepada mereka, seolah-olah segala perbuatannya tidak berpengaruh terhadap apa yang ia punya, karena memang yang ia punya sedikit jumlahnya dan jelek kualitasnya.

Kecerdasan (dzaka’) sangat erat pula kaitanya dengan bagaimana kita bermujahadah melawan hawa nafsu, maka ini akan membawa kita pada kebaikan-kebaikan ilmu yang penuh berkah. Kita dapat melihat dua sosok yang sangat berpengaruh pada zaman Rosulullah, mereka ialah ‘Amr bin Hisyam dan Umar bin Khothob. Keduanya sama-sama memiliki kecerdasan, berasal dari suku yang terpandang karena kecerdasannya. Namun ketika berbicara tentang hidayah, maka faktor yang berbicara tidak hanya kecerdasan (dzaka’), namun juga kesucian (zaka’) dan bagaimana hal ini dijaga.

Ketika kita berbicara tentang kecerdasan, kita tidak hanya terpesona dengan apa yang disebut kejeniusan. Semua kecerdasan yang mereka punya telah didesain oleh Allah ‘azza wajalla untuk dapat menerima ilmu yang bermanfaat bagi kehidupannya. Imam Ahmad pernah berkata, “Ilmu dan makanan sesungguhnya jauh lebih berharga ilmu. Karena makanan hanya dibutuhkan sehari dua atau sekali. Sementara  ilmu dibutuhkan pada setiap nafas”.

Maka apa seharusnya sikap kita pada kecerdasan yang sudah kita miliki? Yang pertamaialah mari kita jaga. Bagaimana menjaga kecerdasan ini bahkan hingga kita tua, ialah dengan menghindari berbagai kemaksiatan. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh seorang ‘alim dari Al Quds, yang suatu saat datang ke Jogjakarta. Beliau sudah tua namun hafalannya masih sangat kuat. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat beliau bisa belajar bahasa jawa, mengerti dan melafalkan beberapa kosakata seperti: matursuwun, monggo, ora opo-opo, dsb. Ketika ditanyakan rahasia dibalik kecerdasan yang masih luar biasa diusia yang telah senja, beliau menjawab, “jika diusia muda kita menjaga anggota tubuh kita dari berbagai kemaksiatan, maka Allah akan menjaganya dimasa tua dari kepikunan dan kerusakan”.

Kedua, mari kita asah kecerdasan itu. Konon kata para ahli pembelajaran, proses yang paling baik untuk mengasah otak ialah dengan membaca. Karena membaca melibatkan banyak proses dalam otak sekaligus. Disana ada sensori, persepsi, memori, analisis, imajinasi, dan berbagai macam hal yang lain. Kemudian juga menghafal,  sebuah metode penting dalam mengasah kecerdasan. Telah terbuktikan dengan sangat jeli dan jelas, bahwa orang yang memiliki daya hafal kuat dan memiliki kebiasan untuk menghafal sesuatu secara terstruktur, maka secara ilmiah mereka akan terbentuk untuk terstruktur didalam berpikir dan terstruktur didalam menjaga daya otaknya sehingga dapat digunakan untuk berbagai macam ilmu yang lain. Salah satu objek yang dapat dicontohkan dalam proses menghafal ialah Al Quranul Karim. Bagaimana kita dituntut untuk tidak hanya dapat membaca dam memahami isinya, namun juga sekaligus menghafalkannya.

Diatas sudah disampaikan bahwa kita harus menjaga ilmu dan kecerdasan dari kemaksiatan. Selain itu, demi menjaga keduanya kita juga harus menjaga asupan yang masuk ke dalam perut kita. KH. Hasyim Asyari pernah berkata, “terlarang bagi orang yang sedang menuntut ilmu itu makan sembarangan, atau jajan dipinggir jalan. Sudah menjadi aib jika seorang ahli ilmu makan dilihat orang banyak, apalagi dipinggir jalan yang tidak sesuai dengan derajat keilmuannya. Terlalu mahal harga yang harus dibayar oleh ilmunya, karena banyak makanan yang tidak jelas statusnya, diragukan kehalalannya, dan tidak meyakinkan kebersihannya.” Maka pada beberapa pesantren tradisional, kita menemukan santri memasak sendiri merupakan hal yang biasa. Karena selain mengasah kemandirian, ini sekaligus sebagai upaya menjaga diri dari makanan yang tidak jelas diluar sana. Beliau tidak hanya melihat dari sisi kehalalalnnya, namun juga dari segi thoyib-nya. Yang dimaksudkan beliau, amat disayangkan jika ahli ilmu sampai sakit hanya karena makanan yang tidak sehat. Inilah pentingnya azas yang pertama, kecerdasan (dzaka’un), dan ini adalah modal besar dalam berilmu.

2.    Semangat (Hirsun)
Semangat, ambisi dan keinginan yang sangat besar untuk menuntut ilmu, merupakan faktor yang tak kalah penting dalam berilmu. Kita dapat melihat bagaimana para ulama kita dahulu memiliki ambisi yang sangat besar didalam berilmu. Kita mengetahui salah satu sahabat bernama Ibnu Abbas, seorang sahabat yang dimintakan Rosulullah kepada Allah untuk memfaqihkan ia dalam agama dan mengajarinya tafsir Al Quran. Ibnu Abbas merupakan sahabat dengan khazanah perbendaharaan ilmu yang sangat banyak. Ia tinggal di Madinah, tempat dimana masih banyak sahabat Rosulullah yang dapat diverifikasi mengenai berbagai macam ilmu yang ia dapat. Namun suatu hari Ibnu Abbas berkisah, “aku berkelana ke Bashrah, Kuffah, Damaskus, Syam dan juga ke Kairo hanya untuk memverifikasi sebuah hadist apakah benar hadist tersebut berasal dari Rosulullah atau tidak.” Inilah hirsun yang menunjukkan kegigihan dalam memperoleh ilmu terbenar dari ilmu kebenaran yang sudah ia dapatkan.

Hirsun, adalah ambisi yang sangat kuat untuk mendapatkan ilmu dan pemahamannya. Tanpa ini kita tidak mendapatkan ilmu. Tanpa kita memiliki semangat yang sangat kuat, sebagaimana pengembaraan-pengembaraan yang dilakukan para ulama terdahulu seperti Imam Ahmad, Imam Bukhori, Imam Muslim, dan bahkan Imam Asy Syafi’i dan lain sebagainya. Kita melihat pengembaraan yang mereka lakukan merupakan bagian darihirsun. Betapa berhasratnya mereka akan ilmu, betapa tingginya keinginan mereka untuk mendapatkan ilmu.

Hirsun inilah yang mendorong Imam Asy Syafi’i untuk belajar dengan luar biasa. Ketika di Mekkah, ia menjadi murid dari Kholid bin Muslim Az Zaunji, salah seorang guru beliau tentang fiqh dan tafsir. Bahkan pada saat Imam Asy Syafi’i berusia 13 tahun, gurunya berkata pada dirinya, “nak, berfatwalah! Karena sesungguhnya engkau sudah layak untuk berfatwa.” Hingga pada akhirnya, Kholid bin Muslim Az Zaunji menyarankan Imam Asy Syafi’i untum memperkuat keilmuannya dibidang hadist kepada Imam Malik.

Ada sebuah kisah menarik ketika Imam Asy Syafi’i melakukan perjalanan dari Mesir ke Baghdad. Beliau berjalan hanya dengan berbekal kurma dan air. Sesampainya di Baghdad, beliau bertamu dirumah Imam Ahmad. Pada jamuan makan malam selepas isya’, Imam Asy Syafi’i nampak makan dengan begitu lahap. Bahkan makanan milik Imam Ahmad dan anggota keluarganya yang tersisa, turut dihabiskannya juga. Setelah itu beliau berbaring dan tidur. Hingga pada sepertiga malam, Imam Ahmad membangunkan anggota keluarganya untuk sholat malam, Imam Asy Syafi’i masih juga tertidur hingga adzan subuh tiba. Setelah mendengar adzan, Imam Syafi’i bangun dan langsung menuju masjid untuk menunaikan sholat.

Melihat semua kejadian ini, anak Imam Ahmad berkata, “Wahai ayahku, tamu kita ini aneh! Pertama, ia makan dengan lahapnya hingga seluruh makan sisa milik kita turut dihabiskan. Lalu ia tidur dan tidak melakukan sholat malam. Kemudian setelah adzan subuh, ia bangun dan langsung menuju masjid tanpa mengambil wudhu”. Imam Ahmad hanya tersenyum, dan menyuruh anaknya, Abdullah, untuk menanyakan langsung kepada Imam Syafi’i.
Mendengar pertanyaan dari Abdullah, Imam Syafi’i menjawab dengan penuh kasih sayang, “Nak, sungguh aku sangat mengetahui bahwa makanan yang paling berkah dimuka bumi, diantaranya adalah makanan yang ada didalam rumah ini. Karena diambil dari jalan yang paling halal dan penuh berkah. Oleh karenanya, aku tidak ingin menyisakan sedikitpun makanan itu, hanya demi memperoleh berkahnya. Lalu aku langsung tidur dan tidak melakukan sholat malam. Karena bukankan ayahmu pernah meriwayatkan hadist yang berbunyi, “satu ayat dari ilmu itu lebih lebih baik dari seribu rokaat sholat sunah”. Dan sesungguhnya aku semalam tidak tidur. Aku hanya berbaring dan itupun karena memikirkan hadist yang lagi-lagi diriwayatkan oleh ayahmu. Suatu hari Rosulullah bertemu dengan anak kecil yang sedang memelihara burung. Pagi itu burung yang dipeliharanya mati. Lalu Rosulullah bertanya, “Hai Aba Umair, apa yang dilakukan burung kecil itu?” Dari hadist itu nak, aku sudah mendapatkan seribu kesimpulan hukum, alhamdulillah.” Baru kemudian mereka berangkat sholat subuh.

Imam Ahmad tersenyum kepada anaknya dan berkata, “Nak, sungguh ia adalah orang yang merupakan khazanah ilmu.” Lalu Imam Ahmad pun mempersaksikan bahwa Imam Syafi’i adalah mujtahid abad mereka. Karena Rosulullah pernah bersabda, bahwa Allah akan menurunkan setiap seratus tahun bagi umat-Nya, seorang mujtahid yang akan memperbarui agama mereka.

Inilah hirsun, hasrat yang sangat kuat dalam berilmu. Bagaimana kita menemukan, satu hadist kecil saja bisa menjadi perenungan yang sangat dalam, seperti yang dilakukan oleh Imam Asy Syafi’i. Maka, kita hirsun didalam berilmu ialah ketika guru menyampaikan sebuah riwayat, dan itu menjadi bahan perenungan dan menjadi pelajaran yang sangat luas bagi kita semua.

3.    Kesungguhan (Ijtihadun)
Berjihad atau bersungguh-sungguh merupakan bagian dari berilmu. Sebab dengan kesungguhan itu Allah akan menunjukkan jalan-jalan berikutnya kepada kita. Menunjukkan pemahaman yang lebih luas dari pada yang sebelumnya. Maka sering kita menemukan pada sosok seseorang yang berilmu, betapa seriusnya mereka didalam menuntut ilmu. Kita sudah melihat diatas, bagaimana kesungguhan Imam Syafi’i didalam berilmu yang sangat luar biasa.

Kita juga sering mendengar perjuangan besar yang dilakukan para ulama dalam mencari ilmu. Bahkan ketika orang merasa bahwa kecerdasan awalnya sangat lemah. Riwayat yang sangat masyhur ialah tentang Ibnu Hajar. Beliau baru menjadi ulama pada usia 65 tahun. Bertolak belakang dengan Imam Syafi’i yang pada usia 13 tahun sudah diminta untuk berfatwa.


Dahulu Ibnu Hajar sangat sulit mengerti dan memahami didalam belajar. Betapa ia merasa sangat tumpul otaknya. Sampai pada suatu hari, beliau melewati suatu tempat. Disana ada saluran air yang tidak tertutup sempurna sehingga airnya menetes dan mengenai batu yang ada dibawahnya. Setiap hari beliau melewatinya, dan ia amati batu itu semakin lama semakin berlubang. Hingga pada suatu hari, ia menemukan sebuah hikmah ketika ia melihat batu tersebut pecah. “Ya Allah, hanya setetes demi setetes, sedikit demi sedikit, air itu turun dan batu itu pecah”, gumamnya. Pada saat itu, usia beliau sudah menginjak 50 tahun. Kemudian beliau mencoba belajar lebih tersetruktur lagi. Beliau baru sadar mengapa dahulu otaknya terasa tumpul, yaitu karena semangat beliau yang sangat besar untuk dapat mempelajari semuanya, dan dengan tergesa-gesa. Setelah beliau mendapat ilmu tentang batu tadi, beliau belajar sedikit demi sedikit, setetes demi setetes, terus menerus belajar dan terstruktur, hingga akhirnya beliau menjadi ulama. Karena mendapat inspirasi dari batu, maka beliau dijuluki Ibnu Hajar, atau si Anak Batu.

Begitu pula dengan Imam Nawawi. Bagaimana beliau menunjukkan kesungguhan berilmu itu dengan menulis dan membaca. Beliau pernah berkata, “jika aku lelah menulis dan membaca, maka aku letakkan kepalaku untuk istirahat diatas buku-buku. Namun ketika pipiku menyentuh sampulnya, aku seperti tersengat dan merasa tak layak untuk beristirahat. Bagaimana aku bisa istirahat, sedangkan tugas dan kewajibanku masih setumpuk.” Suatu upaya yang mungkin berlebihan ialah ketika beliau makan dan minum, ia meminta muridnya untuk menyuapinya, karena beliau sibuk membaca dan menulis. Bahkan (maaf), ketika beliau berada di toilet, muridnya diminta untuk membacakan sebuah buku dari luar, hanya demi bisa mendengarkan ilmu.

4.    Biaya (Dirhamun)
Biaya menjadi komponen yang mutlak dalam berilmu. Memang uang bukan segalanya. Namun uang menjadi penting untuk mendapatkan segalanya. Kita dapat melihat semangat luar biasa para ulama dalam berilmu, yang salah satunya teraktualisasikan dalam anggaran biayanya. Seperti apa yang dilakukan oleh Imam Syafi’i pada saat pergi ke Mesir, beliau membawa tiga gerobak yang berisi buku semua. Hal ini menunjukkan kepada kita bagaimana kesungguhan beliau dalam mengupayakan biaya dalam berilmu.

Begitu juga dengan Imam Malik. Karena beliau meyakini bahwa mengeluarkan biaya untuk berilmu bukan saja berkah untuk dirinya, maka seluruh murid yang belajar di Masjid Nabawi mendapatkan subsidi darinya. Salah seorang sahabat bertanya, “mengapa engkau justru membiayai murid-muridmu, padahal engkau berhak mendapatkan bayaran atas ilmu yang engkau berikan pada mereka?” Imam Malik menjawab, “tidak ada bedanya antara orang berilmu dengan orang yang mencari ilmu, antara orang yang belajar dengan yang mengajar, mereka sama mulianya disisi Allah. Maka jika aku membiayai mereka, sudah sepantasnya mereka mendapatkannya. Dan manfaat dari itu semua akan kembali kepada diriku.”

Inilah mengapa biaya menjadi penting dalam berilmu. Ini adalah soal mengalih bentuk kekayaan dari materi menjadi kualitas diri kita dalam berilmu. Karena setiap proses menuntut ilmu pasti perlu biaya, seperti biaya perjalanan, biaya buku, biaya hidup, dan sebagainya.

5.    Membersamai Guru (Shohibul Ustadz)
Penting bagi seorang murid untuk tidak hanya belajar ilmunya saja. Namun sekaligus mempelajari bagaimana akhlak, adab, perilaku, dan sifat-sifat dari orang yang berilmu. 

Dalam riwayat disebutkan, majelis Imam Ahmad di Baghdad dihadiri sekitar 50.000 orang. Murid yang mencatat materi yang beliau sampaikan hanya 500 orang. Selebihnya datang kesana hanya untuk memperhatikan tindak-tanduk Imam Ahmad dan belajar akhlaknya. Harun bin Abdullah juga mengatakan, “aku membersamai Ahmad selama 13 tahun. Selama itu tidak satupun hadist yang kucatat. Aku membersamai dia hanya untuk mengetahui bagaimana ia berakhlak dan berperilaku.”

Ada sebuah kisah yang menunjukkan betapa mulianya akhlak Imam Ahmad. Suatu hari ketika Harun bin Abdullah mengajar, para muridnya terkena sinar matahari sedangkan Harun bin Abdullah berada dibawah naungan pepohonan. Imam Ahmad yang melihatnya bisa saja menegurnya langsung, tapi ia tidak melakukannya. Ia memilih untuk menemui muridnya, Harun bin Abdullah, pada malam hari dirumahnya, dengan mengendap-endap dan menyampaikan nasihatnya dengan berbisik dan menggunakan bahasa yang santun dan lembut. Hingga Harun bin Abdullah berkata, “Guruku ini sungguh luar biasa. Ia bisa saja menegurku dihadapan murid-muridku, tapi ia ingin menjaga wibawaku. Ia bisa saja datang selepas maghrib atau isya’, namun ia ingin menjaga namaku, kepemimpinanku, dihadapan keluargaku, istriku dan anak-anakku. Maka ia menunggu sampai anak dan istriku tidur pulas, baru ia datang. Karena ia tahu, bahwa aku selalu terjaga dimalam hari untuk menelaah hadist. Betapa luar biasa mulia kebiasaan dan akhlak beliau ini.”

Inilah pentingnya shohibul ustadz. Jika hanya membaca buku, maka kita tidak bisa menguji kepahaman ilmu kita didepan publik. Kita tidak bisa tahu, jika ternyata pemahaman kita ternyata keliru, salah, atau bahkan sesat. Tetapi dengan adanya guru, kita bisa terbimbing dan terarahkan. Selain itu dengan membersamai guru, kita mendapatkan sebuah kelembutan hati. Karena, kata Yusuf Qordhowi, “siapa yang menjadi muridnya buku, maka ia akan mendapat kerasnya hati seperti sudut yang ada pada setiap kotak halaman buku itu. Namun barang siapa berguru kepada seorang guru, maka ia akan mendapatkan kelembutan sebagaimana akhlak yang dimiliki sang guru.”

6.    Waktu yang Lama (Tuluzzamaan)
Jangan mudah bosan karena memang proses menuntut ilmu memakan waktu yang lama. Kadang kita mendapatkan hasil apa yang kita pelajari bukan saat belajar, tapi diluar itu semua dan pada waktu yang akan datang. Diperlukan kesabaran tinggi dalam menjalani proses ini. Karena
barang siapa yang tidak bisa bersabar dalam belajar, maka ia harus bersabar dalam kebodohan.

(Sumber: Kajian Rutin Pagi Hari bersama Ust. Salim A. Fillah, 3 Maret 2011 dengan  tema “Saatnya Aktivitas Dakwah Memperkuat Basis Keilmuan”)


Sumber :http://anoragabhirawa.wordpress.com/2012/11/16/bagaimana-sikap-kita-terhadap-ilmu/
Posted by Unknown On 23:23 No comments

0 comments:

Post a Comment

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

    Blogger news

    Blogroll

    About

    Flag Counter